Sejarah Desa Kedongdong
Asal Usul Desa Kedongdong
Lawang Gede merupakan bukti peninggalan sejarah berdirinya kerajaan Mertasinga di masa lalu. Konon, beberapa abdi dalem keraton Cirebon pada awal abad ke– 17, merasa tidak nyaman tinggal di dalam Istana, karena dominasi pemerintah Kolonial Belanda. Oleh karena itu, beberapa pangeran yang tidak mau bekerja sama dengan Belanda, termasuk di antaranya Pangeran Suryanegara lebih memilih meninggalkan keraton.
Pangeran Suryanegara kemudian pergi ke arah utara dan tinggal secara berpindah-pindah. Di setiap daerah yang di singgahinya, Pangeran Suryanegara mengajarkan Agama Islam dan mengembangkan bidang pertanian. Menurutnya, kalau rakyat makmur Negara aman.
Hidup Pangeran Suryanegara selalu di kejar-kejar pasukan Belanda dan Pasukan Keraton Cirebon yang sudah di pengaruhi Belanda. Di Desa Krangkeng yang letaknya sekarang di wilayah perbatasan Indramayu-Cirebon, Pangeran Suryanegara mendapat dukungan Nyi Lodaya yang di anggap masyarakat sebagai penguasa laut utara dan merajai bangsa Siluman.
Tempat yang pernah di singgahi Pangeran Suryanegara antara lain Desa Bulak Kec. Jatibarang kab. Indramayu, Desa/kec. Jati Tujuh Kab. Majalengka, Desa Lemah Tamba Kec. Panguragan Kab. Cirebon, Pagertoya dan berakhir di Mertasinga.
Sewaktu singgah di desa Bulak, dia mendapati usaha pertaniaan di desa setempat kurang berhasil karena kekurangan air. Maka bersama warga setempat kemudian di buatlah sebuah penampungan air(DAM). Demikian juga ketika dia singgah di sebuah desa yang sekarang bernama Pagertoya.
Pangeran Suryanegara merupakan penggerak pemberontakan rakyat terhadap kolonialisme Belanda yang memicu terjadinya perang Kedongdong(1753-1773). Perang Kedongdong sendiri, menurut Kartini, terjadi akibat pertentangan yang terjadi antar abdi dalam istana yang di adu-domba kolonialis. ”Kedongdong sendiri merupakan pengibaratan buah kedongdong yang bagus di luar tapi ruwed di dalamnya,” kata Kartini.
Namun kebetulan salah satu basis pasukan Pangeran Suryanegara ada yang berada di desa Kedongdong Kec. Susukan dan kebetulan di sana pernah terjadi ledakan pemberontakan sehingga sebagian orang mengaitkan perang Kedongdong dengan desa Kedongdong Kec. Susukan. Pemberontakan kedua terjadi antara tahun 1818 hingga 1845, di pimpin Ki Bagus Serit.
Mertasinga juga merupakan bekas pusat kerajaan Singapura yang pernah ada di Cirebon. Singapura bermakna kota berbagai bangsa. Hal tersebut dapat di lihat dari posisinya sebagai daerah yang wilayahnya berada di tepi pantai dan memiliki pelabuhan yang sangat ramai serta di singgahi kapal-kapal yang berlabuh di Muara Jati. Singapura terletak kira-kira 2 kilometer sebelah utara negeri Surantaka, Sebelah barat dengan negeri Wangiri, sebelah utara dengan negeri Japura dan sebelah timur dengan laut Jawa. Sedangkan pusat pemerintahannya berada di desa Mertasinga.
Saat ini Lawang Gede, ramai di kunjungi para peziarah yang datang dari berbagai tempat di wilayah Cirebon. Bahkan tempat ini di jadikan sebagai tempat nyepi bagi mereka yang sedang mendapatkan kesusahan maupun mereka yang ingin meraih keinginan tertentu. Tempat ini di anggap keramat oleh sebagian masyarakat. Setiap tahun, tepatnya tanggal 1 Syuro, tempat ini ramai di kunjungi orang. Bahkan warga setempat menggelar peringatan 1 Syuro sebagai hari ulang tahun Cirebon secara meriah. Dalam kesempatan itu pula di bacakan sejarah Mertasinga.
PERANG KEDONGDONG
Sebuah pertempuran besar luput dari catatan
sejarah nasional. Pertempuran tersebut terjadi di Kedongdong (1793-1808), tujuh
belas tahun sebelum pecahnya perang Diponegoro atau yang lebih dikenal dengan
Perang Jawa.
Kebijakan pemerintah kolonial Belanda yang menetapkan
pajak dengan nilai tinggi kepada rakyat, dinilai sebagai kebijakan yang sangat
mencekik, karena saat itu rakyat berada pada kondisi yang miskin dan serba
kesulitan. Kebijakan ini mendapatkan tentangan yang sangat kuat dari rakyat,
khususnya kaum santri. Saat itu mulailah terjadi perlawanan-perlawanan rakyat
terhadap Belanda.
Pergolakan melawan belanda bertambah hebat,
Setelah Pangeran Suryanegara, Putra Mahkota Sultan Kanoman IV menolak tunduk
terhadap perintah kolonial Belanda. Ia memutuskan untuk keluar dari keraton dan
bergabung bersama rakyat untuk melakukan perlawanan.
Di bawah pimpinan sang pangeran, semangat rakyat
semakin membara sehingga pemberontakan sengit terjadi di mana-mana. Pasukan
Belanda pun semakin terdesak, mereka mengalami kekalahan perang yang sangat
besar, bukan saja kehilangan ribuan nyawa prajuritnya, tapi juga kerugian
sebesar 150.000 Gulden untuk mendanai perang tersebut.
Dalam keadaan putus asa menghadapi perlawanan
rakyat di bawah pimpinan Pangeran Suryanegara, Belanda pun meminta tambahan
pasukan, bahkan Belanda pun meminta bantuan dari pasukan Portugis yang berada
di Malaka, untuk membantu mereka meredam perlawanan rakyat Cirebon.
Kedatangan enam kapal perang yang mengangkut
bala bantuan pasukan Belanda, yang di dukung oleh kekuatan tentara Portugis di
Pelabuhan Muara Jati, tidak membuat ciut perlawanan rakyat. Justru sebaliknya
semangat perlawanan mereka semakin menjadi. Salah satu perang besar sekaligus
monumental ialah Perang Kedondong, terjadi di Desa Kedongdong Kecamatan
Susukan, di perbatasan Kabupaten Cirebon-Indramayu. Ribuan korban jatuh dari
kedua belah pihak. Dari pihak rakyat, perang itu dipimpin oleh Raden Bagus
Serangin.
Setelah menjalani pertempuran cukup lama
(1793-1808), akhirnya Belanda sadar bahwa mereka tidak bisa menghadapi
perlawanan rakyat secara frontal. Merekapun mencari cara untuk melumpuhkan
semangat perlawanan rakyat. Salah satu caranya adalah menangkap Pangeran
Kanoman, karena dibawah kepemimpinan sang pangeran semangat perlawanan rakyat
semakin berkobar.
Dalam pemberontakan itu, melalui siasat licik
Belanda, Pangeran Raja Kanoman tertangkap. Setelah sempat ditahan di benteng
Belanda di Batavia (Jakarta), sultan pemberani itu kemudian ditahan di benteng
Viktoria, di Ambon, Maluku. Sebelum dibuang ke Ambon, Belanda telah melucuti
seluruh gelar darah birunya. Putra mahkota itu dicabut haknya atas takhta
sultan di Keraton Kanoman.
Sebagai gantinya, diangkatlah adik Pangeran Raja Kanoman yang kemudian menjadi Sultan Kanoman V, bergelar Sultan Muhammad Iman Udin. Peristiwa bersejarah itu terjadi dalam rentang waktu 1793-1808 masehi, tujuh belas tahun sebelum pecah Perang Diponegoro yang oleh Belanda, disebut sebagai Perang Jawa.
"Perang Diponegoro itu dipicu persoalan pribadi, karena Belanda memasang patok di makam raja-raja Mataram. Kalau pemberontakan rakyat Cirebon yang melibatkan Pangeran Raja Kanoman, itu murni perlawanan rakyat terhadap penindasan Belanda. Putra mahkota itu menolak menjadi sultan, karena tidak mau tunduk kepada Belanda yang menarik pajak paksa kepada rakyat Cirebon. Akan tetapi, kenapa yang tercatat dalam sejarah nasional, hanya Perang Diponegoro? Perang Cirebon seolah-olah hanya menjadi sejarah lokal," kata Dadang Kusnandar, budayawan dan pemerhati sejarah Cirebon.
Berdasarkan catatan sejarah Keraton Kacirebonan, meski Pangeran Raja Kanoman dibuang ke Ambon, perlawanan rakyat Cirebon justru kian menjadi-jadi. Setiap hari selalu ada penyerangan terhadap prajurit maupun pembakaran rumah-rumah dan bangunan, yang menjadi simbol kekuasaan Belanda di Kota Cirebon.
Belanda makin kewalahan. Para petinggi Belanda memerintahkan agar Pangeran Raja Kanoman dikembalikan ke Cirebon. Melalui para pimpinan pemberontak, Belanda meminta syarat: bila Pangeran Raja Kanoman dikembalikan, pemberontakan dihentikan. Sebagai jalan tengah, status darah biru Pangeran Raja Kanoman dikembalikan. Kendati demikian, dia tak berhak atas kesultanan di Keraton Kanoman.
Belanda memang menepati janjinya. Hak darah biru Pangeran Raja Kanoman dipulihkan. Hanya, putra mahkota itu diminta membuat keraton baru dan kasultanan baru, yang bukan di Keraton Kanoman. Pada 1808, Pangeran Raja Kanoman memilih tinggal di kompleks Gua Sunyaragi di daerah Sentul (kini Jln. By Pass Brigjen Dharsono). Pangeran itu kemudian bergelar Sultan Amiril Mukminin Muhammad Khaerudin atau sering disebut sebagai Sultan Carbon.
Meski menjadi raja, Sultan Carbon tidak pernah memiliki keraton. Dia hidup sederhana bersama istrinya, Ratu Raja Resminingpuri. Sikap tegasnya tetap berlaku, dengan menolak uang pensiun dan seluruh pemberian dari Belanda. Pada 1814, Sultan Carbon mangkat.
Karena putra lelakinya masih berusia lima tahun, bernama Pangeran Raja Madenda, Kesultanan Carbon diwakili (volmak) janda Sultan Carbon, Ratu Raja Resminingpuri. Pada saat itulah, Ratu Raja membangun Keraton Kacirebonan di Pulosaren, tak jauh dari Keraton Kasepuhan dan Kanoman, dengan memanfaatkan uang pensiunan dari Belanda yang selama menjadi Sultan Carbon selalu ditampiknya. Setelah besar, mahkota diserahkan kepada putranya yang bergelar Pangeran Raja Madenda I.
Walaupun luput dari catatan sejarah nasional,
Perang Kedongdong ternyata memiliki arti tersendiri bagi Belanda. Pertempuran
yang memakan kerugian besar bagi Belanda, baik harta maupun nyawa. Kecamuk
Perang Kedondong, bahkan ditulis dengan gaya naratif-deskriptif oleh prajurit
Belanda bernama Van Der Kamp. Buku Van Der Kamp itu, bahkan telah diterjemahkan
ke dalam bahasa Indonesia ejaan lama 1952. Naskah aslinya ditulis dalam bahasa
Belanda dan tersimpan rapi di perpustakaan di Negeri Kincir Angin itu.
Perlawanan yang diberikan oleh Pangeran
Suryanegara beserta rakyat Cirebon dalam Perang Kedongdong, dapat kita
setarakan dengan sengitnya perlawanan yang di berikan oleh Pangeran Diponegoro,
Tuanku Imam Bonjol maupun Cut Nyak Dien. Karena itu sudah sepantasnya
pertempuran tersebut dicatat dalam sejarah sebagai pertempuran yang bersifat
nasional bukan hanya sekedar pertempuran masyarakat lokal.
Dalam salah satu catatan sejarah Kisah Heroik
perjuangan Putra Keraton Kanoman, rakyat, santri, dan kiyai di wilayah Cirebon
terjadi dalam rentang waktu 20 tahun (1753-1773), sementara dalam catatan yang
lain terjadi dalam rentang waktu 16 tahun (1802-1818). Kerancuan yang terjadi
akibat kurangnya perhatian pemerintah dalam menggali sejarah perjuangan rakyat
dalam membela kemerdekaan mereka dari cengkraman penjajah.
Perang Kedongdong nyaris tak dikenal oleh
generasi muda masyarakat Cirebon dan sekitarnya, namun masih melekat dalam daya
ingat para sesepuh dan ahli sejarah lokal. Akankah kisah tersebut menguap
seiring dengan berjalannya waktu? Wallaahu A’lam.
Salah satu kisah asal muasal terjadinya Perang
Kedongdong yang penulis dapatkan adalah:
DETIK-DETIK TERJADINYA PERANG KEDONGDONG:
Sekitar akhir abad 18-an, kedua Putra Panembahan
Sepuh Jaenuddin II, yang baru datang dari Pondok Pesantren itu merasakan
ketidak nyamanan hidup dan tinggal di dalam Istana. Menurut mereka sekarang
Keraton itu sangat jauh berbeda bila dibandingkan dengan kehidupannya dulu
sewaktu mereka masih kecil dan tinggal di dalamnya. Hampir setiap hari sekarang
selalu dipenuhi dan didominasi orang- orang bule atau inlander yang pro
terhadap Pemerintah Kolonial Belanda.
Banyak Para Pinangeran yang tidak senang dengan
aturan yang sekarang, dimana Kedudukan Sultan sebagai penguasa politik itu
dihapus, Sultan hanya diberikan kedudukan sebagai pengelola kesenian dan adat
istiadat yang berjalan selama ini. Sultan tidak mempunyai kewenangan apa-apa,
bahkan sampai pengangkatan Pangeranpun praktis tidak bisa, semuanya diatur oleh
Pemerintah Kolonial Belanda. Sebagai gantinya Sultan mendapatkan subsidi atau
gaji dan mendapatkan pensiun dari Pemerintah Kolonial Belanda.
Adanya aturan seperti itu praktis banyak para
Pangeran yang tidak diperkenankan mendapatkan Gelar kebangsawanan dari
Pemerintah Kolonial Belanda, dan Belanda mewajibkan para pinangeran yang tidak
mendapatkan Besluit (SK) diharuskan menjadi Abdi Dalem yang ditugaskan
Pemerintah dan Sultan untuk terjun ke masyarakat dalam rangka menangani masalah-masalah
sosial, namun mereka tidak mendapatkan gaji dari Pemerintah. Termasuk diantara
para pinangeran yang tidak mendapatkan SK itu adalah kedua putra Gusti
Panembahan Sepuh Jaenuddin yakni Pangeran Penengah Abul Khayat Suryanegara dan
Pangeran Idrus Surya kusuma Jayanegara atau Pangeran Aryajanegara (Gelar
Pangeran itu pemberian langsung dari ayahandanya saat mereka usianya masih
kecil-kecil).
Sekitar akhir abad 18-an kedua putra mahkota itu
memilih pergi meninggalkan kehidupan Keraton untuk menemui seorang ulama sufi
yang sudah masyhur di daerah Cirebon dan sekitarnya: Kiyai Abdul Mukhyi namanya
yang kemudian dikenal dengan sebutan Ki Buyut Muji. Selang beberapa tahun
kemudian mereka berdua dinikahkan dengan anak-anak gadisnya Ki Buyut Muji.
Pangeran Suryanegara dinikahkan dengan Nyai
Layyinah, dan kemudian menurunkan anak cucunya di daerah Mertasinga,
sementara Pangeran Jayanegara dinikahkan dengan adiknya yaitu Nyai Jamaliyah,
dan menurunkan anak cucunya yang kebanyakan tinggal di daerah Plered Cirebon,
dan sebagian ada yang di Ciwaringin.
Pangeran Suryanegara pada saat belajar/nyantri
dulu adalah ahli dalam bidang ilmu alat (Nahwu, Shorof, Manthiq, Balaghoh,
Ma’ani, Bayan) atau ilmu yang dijadikan salah satu syarat berijtihad dalam
menentukan hukum-hukum Islam, karena yang dapat menguasai ilmu tersebut sudah
mampu untuk menafsiri Al-Quran dengan benar. Sementara Pangeran Jayanegara
adalah ahli dalam bidang ilmu fiqih, sehingga beliau selalu berpesan kepada
anak cucunya, harus menguasai ilmu fiqih, paling tidak salah satu kitab fiqih
Taqrib namanya itu harus bisa dan menguasainya, agar wasiat eyang Gusti Sinuhun
Kanjeng Sunan Gunung Jati “Ingsun Titip Tajug lan Faqir Miskin” itu bisa
dilaksanakan dengan benar. Disamping itu juga Pangeran Jayanegara adalah
seorang ahli dalam bidang penyusunan setrategi, sementara Pangeran Suryanegara
ahli dalam membuat Natijah atau kesimpulan/keputusan. Klop sudah keahlian kedua
putra Panembahan Sepuh itu untuk menyusun apa saja, hasilnya sangat bagus.
Keahlian kedua Pangeran itu rupanya didengar
oleh kalangan Istana Keraton Kanoman. Begitu mendengar ada seseorang yang
sangat piawai dalam hal menyusun setrategi dan masih dari kalangan Keraton yang
pergi meninggalkan Istananya, maka oleh Putra Mahkota Keraton Kanoman yang
sudah sangat tidak cocok dengan semua aturan yang ada, segera dimanfaatkan.
Dengan membawa tekad yang bulat iapun pergi menemui kedua Pangeran itu, untuk
membicarakan semua unek-uneknya.
Kehadiran Putra Mahkota ditempat kediaman Kedua
Pangeran secara tiba-tiba itu sangat mengejutkan Kiyai Abdul Muhyi mertuanya.
Namun sebagai ulama sufi Kiyai itu lebih baik diam dan menyimak saja
pembicaraan mereka. Dalam pertemuan itu obrolan mereka sangat menarik, karena
ketiganya sama-sama ahli dalam bidang Syari’at Islam dan sama-sama anti
Kolonial Belanda yang telah menyusahkan Cirebon.
Kesimpulan obrolan dalam pertemuan tersebut
antara lain:
Pertama: sepakat perlu diadakan perlawanan,
dengan alasan untuk mengembalikan kedudukan Cirebon sebagai penguasa politik
dan penentu kebijakan tradisi yang bersendikan syariat Islam.
Kedua: sepakat hal ini akan dikonsolidasikan
dengan teman-teman nyantrinya dulu, seperti mbah Muqoyyim, Jamaluddin Bukhori,
Raden Atasangin, Sya’roni, Pangeran Arya Sukmadiningrat, Syarif Abdur Rahman
warga keturunan Arab yang mengadakan kegiatan da’wahnya di wilayah Cirebon
bagian Timur, dan lainnya.
Ketiga: semua nama asli akan diganti dengan nama
sandi, agar gerak-geriknya tidak di ketahui baik oleh pihak keraton yang pro
Belanda, maupun oleh pihak Pemerintah Kolonial.
Hasil kesepakatan itu tidak disia-siakan dan
langsung diberitahukan kepada teman-teman dan saudara, secara diam-diam.
Setelah mereka berhasil dihubungi kemudian mereka berkumpul lagi ditempat yang
sama yaitu ditempat kediaman Kedua Pangeran tersebut. Dan sekaligus malam itu
juga (27 Maret 1801) tempat pertemuan itu dikukuhkan sebagai Keraton Perjuangan
atau Bayangan, kemudian tersusunlah sebuah rancangan yang sangat bagus. Yakni
Putra Mahkota Raja Kanoman ditunjuk sebagai Panglima tertingginya, untuk
Koordinator lapangan ditunjuk Pangeran Suryanegara, untuk Penyusun setrategi
ditunjuk Pangeran Jayanegara, untuk Pimpinan Daerah ditunjuk mbah Muqoyyim dan
dibantu teman-temannya seperti Jamaludin Bukhori, Sya’roni, Pangeran Aryasukma Diningrat,
Syarif Abdur Rahman. Sebagai pendahuluan didalam perjuangan itu koordinator
daerah ditugaskan sebagai pengganggu setabilitas keamanan daerah.
Pada hari itu juga mereka langsung merubah
namanya, Pangeran Penengah Abul Khayat Suryanegara dan Pangeran Idrus
Suryakusumah Jayanegara namanya dijadikan satu menjadi Suryajanegara, Jamaludin
Bukhori diganti menjadi Bagus Jabin, Raden Atasangin diganti menjadi nama
panggilan atau singkatan pada saat nyantri dulu yaitu Rangin artinya Raden
Atasangin, kemudian dilengkapi dengan Bagus Rangin, dan ada juga yang memanggil
Raden Serangin, itu sebenarnya sama sebagai nama julukan atau wadanan (Bahasa
Cirebon), dan kemudian untuk Sya’roni sendiri dirubah menjadi Serit atau Bagus
Serit, karena Sya’roni itu artinya dua rambut, sehingga dulu dijuluki pada saat
nyantrinya dulu dengan nama Serit (Sisir lembut untuk mencari kutu/Tuma).
Sementara Aryasukma Diningrat dirubah menjadi Arsitem. Syarif Abdur Rahman
diganti menjadi Bagus Sidong.
Landasan setrategi mereka dalam perjuangannya
disusun dalam sebuah buku yang diberi Judul “Mujarobat” (kepanjangan dari
“Mujahidin poro Ahlul bait/ahli Keraton”) dan agar buku itu tidak diketahui
orang lain maka penulisnya ditulis dengan nama “Arsiqum”. Di dalam kitab
itu banyak berisi sandi-sandi yang hanya dimengerti kalangan
sendiri.
Markas Besar pertama kali untuk menyusun
setrategi perang melawan Belanda dan Pihak Keraton itu berada di Desa
Tengahtani tempat tinggalnya kedua Pangeran tersebut, sekaligus dikukuhkan
menjadi Keraton perjuangan (sampai saat ini nama itu masih melekat
dimasyarakat, dan dijadikan sebuah nama blok yaitu blok Keraton, adanya
dikomplek masjid Tengahtani).
Untuk lebih memudahkan dalam berkomunikasi
dengan kedua Pangeran itu, akhirnya sepakat nama Suryajanegara itu untuk
Pangeran Suryanegara, dan untuk Pangeran Jayanegaranya sendiri lebih tepat
diberi nama Rancang, sesuai dengan keahliannya yaitu merancang, sehingga sampai
sekarang nama itu dikenal oleh masyarakatnya yaitu Buyut Rancang.
Kehidupan mereka sehari-harinya adalah sebagai
tokoh masyarakat yang disegani, punya santri, punya pengajian, dan dakwah
kedaerah-daerah. Seperti Jamaludin Bukhori atau Bagus Jabin, dia punya santri
jumlahnya ribuan. Raden Atasangin atau Rangin punya santrinya juga ribuan, Sya’roni
atau Serit juga mempunyai ribuan santri, mbah Muqoyyim sama, begitu juga ke dua
Pangeran, masing-masing punya santri yang jumlahnya ribuan, sementara Raja
Kanoman punya pengaruh sangat besar. Dan hal ini dapat dibuktikan, melalui
kerusuhan yang bersifat kecil-kecilan di daerah-daerah, seperti di Kerawang
atau daerah Pantura, Majalengka, Bandung, Sumedang, Cimanuk dan beberapa daerah
Cirebon.
Meski satu persatu pemimpin pemberontakan itu
tertangkap, namun tidak menyurutkan perlawanan atau pemberontakan terhadap
tindakan Pemerintah Kolonial Belanda, seperti yang di alami pewaris takhta
Kesultanan Keraton Kanoman yang diangkat sebagai pemimpin tertinggi dalam
pemberontakan karena menolak pajak yang diterapkan Belanda, yang dapat memicu
pemberontakan di beberapa tempat. Pangeran Raja Kanoman kemudian tertangkap
oleh Belanda dan dibuang ke benteng Viktoria di Ambon, dilucuti gelarnya, serta
dicabut haknya sebagai Sultan Keraton Kanoman. Namun karena perlawanan rakyat
Cirebon tidak juga reda, Belanda akhirnya membawa kembali Pangeran Raja Kanoman
ke Cirebon dalam upaya mengakhiri pemberontakan. Status kebangsawanan Pangeran
Raja Kanoman pun dikembalikan, namun haknya atas Kesultanan Keraton Kanoman
tetap dicabut. Sekembalinya ke Cirebon, pada 1808, Pangeran Raja Kanoman
tinggal di kompleks Gua Sunyaragi dan bergelar Sultan Amiril Mukminin Muhammad
Khaerudin atau Sultan Carbon, walaupun tidak memiliki keraton. Sampai wafat nya
pada 1814, Sultan Carbon tetap konsisten dengan sikapnya dengan menolak uang
pensiun dari Belanda.
Begitu juga Bagus Rangin tokoh masyarakat dari
Bantarjati Majalengka, yang menentang dan memimpin pemberontakan melawan
Belanda pada Perang Cirebon tahun 1805-1812. Pada 1805 pertempuran pecah
di daerah Pangumbahan, juga terjadi lagi di daerah Karesidenan Cirebon dan
pantai utara Jawa. Pasukan Bagus Rangin yang berkekuatan ± 10.000 orang kalah
dan terpaksa mengakui keunggulan Belanda. Bagus Rangin menerima hukuman penggal
kepala di Cimanuk dekat Karangsembung Cirebon. Nama Bagus Rangin saat ini
diabadikan menjadi sebuah nama jalan di Bandung dan Cirebon.
Oleh: Abi Kayis Al-Mahdawy (dari berbagai
sumber)
Komentar
Posting Komentar