ASAL USUL NAMA GEYONGAN
ASAL USUL NAMA GEYONGAN

Cerita sejarah ini berawal dari seorang sarjana Panama yang sedang melakukan penelitian tentang kebudayaan Cirebon dan lagi berkunjung ke Komplek Pemakaman Sunan Gunung Jati untuk pengumpulan data dan informasi sebagai bahan penulisan Tesisnya. Komplek pemakamam Sunan Gunung Jati adalah tempat makam dimana Sunan Gunung Jati dan Keturunannya (Sultan-Sultan Cirebon) dan para pembantunnya/Ki Gede disemaya
mkan.

Setelah sekian lama dia berkeliling di komplek pemakaman tersebut dia tertarik pada salah satu makam yang baginya agak ganjil dimana pada batu nisan makam tersebut tidak diberi nama indentitas dibandingkan dengan yang makam lainnya, maka bertanyalah si sarjana tersebut kepada pemandu atau yang biasa disebut Jeneng " Ini makamnya Siapa
? " Si pemandu tidak bisa menjawab padahal dia mengetahui jawabannya,
kemudia jeneng menyarankan agar bertanya saja pada Dinas Pendidikan dan
Kebudayaan Kota Cirebon. Pada keesokan harinya sarjana tersebut bertandang ke Kantor Dinas P dan K
kota Cirebon menanyakan perihal makam yang tidak punya nama itu di
Komplek pemakaman Sunan Gunung Jati, di Kantor Dinas P dan K ia juga
tidak mendapatkan jawaban yang jelas dan memuaskan kemudian Dinas P dan K
Kota Cirebon menyarankan agar bertanya pada para orang tua Desa
Geyongan. Maka berangkatlah Ia ke Desa Geyongan dan bertemu dengan Bapak H. Markina dan inilah ceritanya selengkapnya.
Sahdan yang punya cerita disuatu malam didalam salah satu keraton
Kesultanan Cirebon sedang mengadakan acara kesenian Tayuban atau
sejenisnya yang dihadiri Sultan dan para pembantunya serta tidak
ketinggalan para penari tayub (ronggeng), konon penari tayub itu diambil
dari beberapa desa/pedukuhan terpilih tentu
dengan persyaratan sangat ketat sudah barang tentu harus cantik,
bahenol, pinter menari dan menyanyi pelog. Sudah merupakan tradisi
kraton jaman dulu, keraton selalu mengadakan acara kesenian tayuban untuk menyenangkan hati Sultan dan pembesar keraton, sampai sekarang para penabuh gamelan hingga keturunannya selalu setia terhadap Sult
an Cirebon.

Pada malam itu Sultan
kelihat muram dan tidak semangat untuk melihat dan menari entah apa
yang beliau pikirkan, maka bertanyalah si Sultan pada Tumenggung
kepercayaannya " Ehh .. tumenggung kenapa si Anu itu tidak datang ? Tumenggung terdiam tidak bisa menjawab .
Sudah sebulan dia tidak lagi menemaniku untuk menayub sergahnya . Matur
tulung Sinuhun , saya juga tidak mengetahui kedaannya, jawabnya jawab
Tumenggung", yah sudah kalau begitu saya utus kamu untuk mencari tahu tentang keberadaan si Anu, kata Sultan. Si anu itu adalah seorang penari tayub konon merupakan kesayangan Sultan, yang mempunyai
paras cantik berasal dari pedukuhan anu (red : sekarang Desa Geyongan),
waktu itu pedukuhan geyongan sudah ramai dan banyak penduduknya (link :
cerita Sejarah Desa Geyongan). Keberadaan si Anu dan identitasnya
hingga saat ini masih sangat misteri belum ada yang mengetahuinya,
siapa gerangan ?
Singkat cerita Tumenggu itu berangkat ke Desa Geyongan untuk mencari tahu keadaan si penari tayub itu dengan berkendaraan kuda melewati jalan yang ada sekarang (dremaga lor). Setelah sampai di pedukuhan Geyongan si Tumenggung
tadi tidak langsung menuju ke tempat si Nyai penari tapi mampir dulu
beristirahat untuk melepaskan lelah setelah menempuh perjalan jauh dari
Cirebon ke Geyongan di sebuah belik untuk memberi minum
kuda sekalian minum atau sekedar cuci muka dan kaki. Belik itu adalah
sumber mata air (tuk : bhs Cirebon) yang oleh orang dibuat kolam atau
sumur dan dipergunakan orang untuk keperluan mandi dan sumber air minum
biasanya letaknya ditepi jalan (toang) atau sawah. Keberadaan belik
saat ini masih baik dan masih dipergunakan oleh masyarakat untuk mandi
dan air minum, terletak di blok Kidas Desa Kebonturi yang merupakan
peninggalan pedukuhan Kidas dan tidak jauh dari Simpang Tiga Jenun - Geyongan Kec. Arjawinangun.

Kebetulan waktu
itu masih agak siang, jadi tidak ada salahnya untuk beristirahat
(Ngaso bhs jawanya) pikir tumenggung. Sebelum ngaso si Tumenggung
memotong bambu, waktu itu disekitar belik masih banyak bambu untuk
dibuat semacam ayunan. Tanpa disadari setelah sekian lama berayunan terasa kantuk menghinggapi si Tumenggung. Gelise wong crita bobade wong kanda “ maka tertidurlah si Tumenggung
tadi diatas ayunan sampai sore hari ", yah pantes saja dia tertidur
selain kondisi dia lagi cape keadaan di belik juga mendukung sudah
udaranya segar juga hembusan anginnya yang
semliwir (sepoi-sepoi) siapapun orangnya pasti akan ngatuk dan tertidur.
Menjelang waktu asyar " gragap " terbangunlah ia dan dengan
tergopoh-gopoh menaiki kuda menuju ke rumah si Nyai penari di pedukuhan geyongan.
Singkat kata sampailah ia di rumah si Nyai penari, kedatangannya disambut dengan sopan dan senyuman manis
sebagimana gadis desa yang lugu menyambut para pembesar dari keraton,
langsung dia dihidangi air putih dan rebusan Boled (Ubi jalar) dan Campu
(Umbi Batang/Singkong). Mangga gusti kula suwunakan mlebet teng gubuk kula ( silahlakan gusti untuk masuk ke
rumah saya) kata si penari, tumben gusti mboten pranti-pranti nyambangi
griya kula apa wenten wigatos sing sanget, timpal si Nyai penari.
Begini Nyai sergah si Tumenggung, saya diutus oleh
Kanjeng Gusti Sinuhun Sultan untuk mencari tahu keadaan Nyai, karena
sudah sebulan Nyai tidak sambang ke Keraton untuk penari. Memang ada apa
Nyai ? tanya si Tumenggung. Si Nyai cuma hanya bisa diam tidak
bisa menjawab sekatapun, wajahnya tertunduk malu raut muka penuh rasa
takut dan khawatir maklumlah gadis desa berbicara dengan penggede
keraton. Lama sudah Tumenggung menanti jawaban si Nyai tapi Nyai tetap
tidak bisa bicara sekatapun, maka bertanyalah lagi “ Ada apa Nyai ?
bicarah Nyai sejujurnya “. Si Nyai tetap juga tidak bisa menjawab cuma
bisa menjawab dengan bahasa isyarat yaitu dengan mengelus-elus perutnya
yang sedang membesar itu. Sasmitane Tumenggung mengertilah apa yang
diisyaratkan oleh Nyai , baiklah Nyai sekarang aku baru mengerti
jawabanmu. Setelah sekian lama berada di rumah Nyai Penari berbicara
ngalor-ngidul, menjelang sore wayah surup pulanglah Tumenggung tadi ke
Cirebon dengan berpesan pada Nyai agar selalu men
jaga kesehatan dan menjaga kandungannya.

Singkat cerita sampailah si Tumenggung di keraton Cirebon dan langsung melapor hasil perjalanannya mengunjungi
si Nyai Penari itu, dengan tergopoh-gopoh laporlah ia ke Sultan .
Sebelum sempat bicara melaporkan diri , Jumeneng Sultan langsung
bertanya , “ Tumenggung kenapa kamu lama sekali baru menghadap saya, apa
pedukuhan itu jauh sekali ? “ sergah Kanjeng Sultan “ . Matur
Kanjeng Sultan kalau jauh sih tidak yah kurang lebih 2 jam perjalanan
naik kuda letaknya sebelah utara dari tempatnya Ki Gede Palimanan,
tempat itu belum ada namanya Kanjeng Sultan “
jawab Tumenggung. Iya… menurut hitungan saya kamu lama sekali datang
melapor , sampai malam begini, kemana saja kamu ? Nganclong kemana ….. “
hardik Kanjeng Sultan. Aduh Kanjeng Sultan, pangapunten sing agunge
pangapura kula, sebenernya saya tidak nganclong kemana-mana saya tadi
tertidur sewaktu istirahat di Belikan hingga sore hari baru saya
terbangun. Loh.. koh bisa tertidur memangnya kenapa ? Maaf Kanjeng
Sultan, waktu di tempat itu saya membikin Ayunan dari bambu untuk
duduk sambil istirahat tak terasa saya teridur, timpal Tumenggung.
Ohh…. begitu ceritanya, baiklah kalau begitu karena pedukuhan itu belum
punya nama maka tempat itu saya namakan Geyongan, sejak saat itulah
pedukuhan itu dinamakan Geyongan hingga saat ini. Kata Geyongan sendiri
diambil dari kata Ayunan padanan kata Geyongan. Adapun makna kata
Geyongan adalah suatu alat yang terbikin dari kain atau bahan lainnya
yang diikat dengan tali dan digantung biasanya digukanan untuk menidurka
n bayi/anak, alat itu sudah sangat lajim digunakan masyarakat Cirebon.
Melanjutkan
cerita tadi… terus bagaimana keadaan Nyai, Tumenggung ? tanya Kanjeng
Sultan lagi. Begini Kanjeng Sultan, sebelumnya saya minta maaf
barangkali laporan saya ini lancang dan pamali . Sebenarnya Nyai tidak sakit atau tidak kurang apapun semuanya sehat, Kanjeng .. , ayo teruskan laporanmu
sergah Kanjeng Sultan penasaran. Ternyata setelah saya tanya dan lihat,
Nyai saat ini sedang mengandung/hamil. Terkejutlah wajah Sri Sultan
mendengar laporan itu, baiklah kalau begitu saya mengerti apa yang harus
saya lakukan, Tumenggung untuk itu saya tugaskan kembali kepadamu untuk
selalu mengawasi dan menjaga keadaan Nyai penuhi kebutuhan hidupnya
jaga kesehatannya dan jaga keamanannya, perintah Kanjeng Sultan.
Sumangga derek dawuh Kanjeng, timpal Tumenggung. Sejak saat itulah Nyai
penari menjadi tanggungjawab dan pengawasan Tumenggung sampai
melahirkan.
Delapan
bulan kemudian si Nyai melahirkan jabang bayi perempuan di pedukuhan
Geyongan, karena kehendak Allah. SWT bayi tersebut tidak panjang umur
meninggal dunia sewaktu masih bayi dan dikubur/disemayamkan di pekuburan
Desa Geyongan serta petilasannya juga dibuat di komplek pemakaman Sunan
Gunung Jati. Karena beliau masih keturunan Sultan Cirebon oleh Sultan
diberi gelar Nyi Ratu, sehubungan dia meninggal dan disemayamkan di
Geyongan orang menyebutnya atau dijuluki Nyi Ratu Geyongan dan dihormati sebagai Ki Buyutan karena diduga mempunyai k
haromah dan keramat. Saat ini makam Nyi Ratu Geyongan pada malam-malam tertentu terutama
pada sore dan malam Jum’at banyak dijiarahi orang, sekedar untuk berdoa
dan haulan bahkan dijadikan tempat menyepi/sunyaragi untuk mendapatkan
kharomah dari-Nya.
Demikian cerita asal usul nama Geyongan, kepada semua pihak terlepas dari tidak atau validnya cerita ini saya mohon maaf. Tujuan saya menulis ini hanya sekedar menyambung lidah lewat tulisan
dari cerita yang beredar di masyarakat, saya menyadari kelemahan bangsa
ini bahwa kebanyakan suatu kejadian atau peristiwa tidak terdokumentasikan dengan baik.

Komentar
Posting Komentar