Assalamu 'alaikum wr.wb

Setelah perang antara Kerajaan Telaga (kerajaan cikijing, majalengka) dan kerajaan Galuh (kerajaan Jatiwangi, majalengka) melawan kesultanan Cirebon, kerajaan Telaga dan Galuh dapat ditaklukkan, akhirnya masyarakat Telaga memeluk islam.

Kemudian Sunan Gunung Jati dalam penyiaran Agama Islam di negeri Telaga dan Galuh mengutus beberapa orang Gegeden yang memiliki banyak ilmu dan kesaktian tinggi, untuk memberikan pengawasan terhadap tanah taklukan kesultanan Cirebon, karena masih ada pepatih yang masih belum memeluk Agama Islam. Diantara Gegede yang diutus itu adalah Syekh Suropati / Ki Suro. Seorang Gegede yang terkenal sakti mandraguna yang berasal dari Negeri Arab (sumber lain mengatakan dari Mesir dan Bagdad). Yang nama aslinya yaitu Syekh Muhyiddin  Waliyullah / Syekh Abdurrahman, yang sudah dua tahun tinggal di keraton Cirebon, sebagai santri (murid) Sunan Gunung Jati, lalu setelah dianggap cukup ilmunya oleh Sunan Gunung Jati beliau diutus untuk membantu menyebarkan Ajaran Islam keseluruh pelosok penduduk jawa barat, namun tak jarang pula rintangan yang dihadapinya, beliau harus bertanding melawan penggedean pedukuhan tersebut. Namun berkat kesaktian ilmunya yang mandraguna mereka dapat ditaklukkan dan mereka mau memeluk Agama Islam.

Lalu atas jasa dan ilmu kesaktiannya, Syekh Muhyiddin diangkat oleh Sunan Gunung Jati menjadi pepatih unggulan / panglima tinggi (pengawal Sunan) dinegeri Cirebon dengan gelar Ki Gede Suropati. Setelah pemberian gelar tersebut Kanjeng Sunan memerintahkan Ki Suro bertandak ke pondok Ki Pancawal (seorang pembesar kerajaan talaga) untuk membawakan kitab suci Al-Qur'an yang berjumlah banyak diperuntukkan sebagai pedoman di Negeri Talaga dan Galuh. Namun ditengah jalan, perjalanan menuju negeri Talaga Ki Suro menemui adegan sayembara merebutkan seorang putri cantik, barang siapa yang mampu mengalahkan Ki Wadaksi (pembesar kerajaan talaga) akan di jodohkan / dikawinkan dengan putrinya yang bernama Nyi Mas Wedara, lalu Ki Suro ikut dalam sayembara tersebut, Ki Suro hanya ingin mengetahui ilmu yang dimiliki oleh Ki Wadaksi, akhir Ki Suro tidak menikahi Nyi Mas Wedara, namun Putri Ki Wadaksi tersebut malah diserahkan kepada Raden Palayasa yang sebelumnya mereka saling mencintai.

Kemudian Ki Suro dibawa oleh Ki Pancawala di pondoknya, dan dijamukannya dengan jamuan istimewa sambil menyerahkan kitab suci Al-Qur'an. Dengan senang hati Ki Pancawala didatangi Ki Suro, namun dalam jamuan itu Ki Suro terpesona melihat putri Pancawala yang bernama Nyi Mas Ratu Antra Wulan, dalam hati Ki Suro punya keinginannya untuk meminang Nyi Mas Ratu Antra Wulan, Ki Pancawala sudah mengatakan bahwa putrinya akan diserahkan kepada Sunan Gunung Jati yang diharapkan menjadi istrinya, dan Ki Suro bersedia untuk mengantarkannya ke keraton Cirebon.

Dalam perjalanan menuju keraton Cirebon, sangatlah panjang dari masuk dan keluar hutan sampai naik dan turun gunung. Dalam suatu perjalanan mereka mendapati sebuah Gubug kecil, ditengah - tengah hutan belantara, Ki Suro meminta beristirahat sebentar untuk menghilangkan rasa letihnya. Setelah itu mereka malanjutkan perjalanan tiba - tiba dikejutkan dengan kedatangan Nyi Mas Rara Anten, yang meminta Nyi Mas Ratu Antra Wulan untuk dijodohkan dengan putranya. Kemudian terjadilah perang tanding yang seru pada akhirnya Nyi Mas Rara Anten dapat dikalahkan.

Perjalanan dilanjutkan kembali, setelah sampainya di keraton Cirebon, Ki Suro menyerahkan Nyi Mas Ratu Antra Wulan dan menyampaikan amanat Ki Pancawala kepada Sunan Gunung Jati. Namun amanat Ki Pancawala yang menginginkan anaknya menikah dengan Sunan Gunung Jati tidak diterima dengan cara halus, karena Sunan Gunung Jati sesungguhnya telah mengetahui bahwa Ki Suro menyukai Nyi Mas Ratu Antra Wulan. Karena itu Sunan Gunung Jati memerintahkan Ki Suro menikahi Nyi Mas Ratu Antra Wulan.

Setelah Ki Suro dan Nyi Mas Ratu Antra Wulan menjadi suami istri, mereka membangun pedukuhan / perkampungan disebuah tegalan ditengah - tengah hutan yang dahulu terdapat sebuah gubug kecil yang mereka pernah singgahi sewaktu perjalanan dari kerajaan Talaga menuju keraton Cirebon.

Pedukuhan itu atas izin dan restu Sunan Gunung Jati, dan diberi nama "Tegal Gubug" yang mana nama tersebut terdiri dari dua suku kata yaitu :
  • Tegal artinya : Tanah yang dicangkul untuk ditanami.
  • Gubug artinya : Rumah kecil yang terbuat dari bambu dan atapnya dari daun tebu.
  • Tegal Gubug : Sebuag rumah kecil yang sangat sederhana terbuat dari bambu, yang sekitarnya terdapat tegalan (galengan) yang siap ditanami.
Peristiwa terbentuknya nama Tegal Gubug ini terjadi sekitar 1489 M. (sekitar akhir abad ke 15) pada saat kesultanan Cirebon dipimpin oleh kanjeng syekh syarif hidayatullah (sunan gunung jati) Cirebon. Yang merupakan salah satu Wali dari Walisongo, yang dituahkan ilmunya oleh rekan - rekannya.

Setelah terbentuk sebuah nama pedukuhan / perkampungan Tegal Gubug, kemudian Ki Suro melanjutkan misinya untuk terus menyebarkan Ajaran Islam. Terbukti dengan pesatnya Agama Islam disekitar Masyarakat, yang ketika itu masih mempercayai ( menganut, menyembah) Agama Nenek Moyangnya yaitu : Animisme (aliran / kepercayaan terhadap benda) dan Dinamisme (aliran / kepercayaan terhadap Roh) dan Hindu, Budha.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Asal-usul desa bunder, susukan, cirebon

Sejarah Desa Kedongdong

Sejarah Desa Jatianom