Lunturnya Budaya Bangsa sebagai Identitas Bangsa
“Indonesia tanah air beta pusaka abadi nan jaya Indonesia sejak dulu kala tempat dipuja-puja bangsa Di sana tempat lahir beta dibuai dibesarkan Bunda tempat berlindung di hari tua sampai akhir menutup mata”
Negeri kita dikenal dunia sebagai bangsa yang ramah dan santun. Predikat tersebut sudah melekat lama, sejak zaman dahulu dan menjadi cermin kepribadian bangsa di mata dunia. Dimana tutur kata sopan dan sikap yang santun dalam masyarakat menjadi budaya sehari-hari. Bagi yang muda menghormati yang tua, dan yang tua menghargai yang muda. Saling asah asih asuh adalah nilai warisan orang tua kita. Orang Indonesia identik dengan murah senyum, saling menyapa dan kehidupan desanya yang srawungan.
Di era media sosial sekarang ini kesantunan dan sikap ramah bangsa, kita rasakan semakin memudar. Ada gejala dekandensi moral dalam masyarakat kita. Kesantunan dalam bertutur dan juga sikap ramah mulai meluntur. Nyata tergambar di televisi bagaimana media elektronik itu menyajikan tontonan sinetron tanpa tuntunan. Serta program debat yang nir tata krama, juga di media sosial dimana banyak orang tidak lagi menggunakan etika dalam menyampaikan pendapat dan komentar kepada orang lain. Tidak peduli orang tersebut tokoh masyarakat atau orang yang lebih tua sekalipun. Komentar kasar kerap dicuit oleh warganet yang notabene-nya generasi penerus bangsa ini.
Sangat disayangkan jaringan internet yang mudah diakses saat ini, digunakan untuk menebar kebencian, dan menyebar hoaks oleh satu kelompok untuk menyerang kelompok lain tanpa unggah-ungguh. Sebaliknya, tak sedikit orang berkomentar dengan kemarahan dan kebencian atau biasa orang menyebut “nyinyir”. Begitu juga yang terjadi di tengah masyarakat; berkurangnya interaksi sosial mengikis kerukunan, mempertebal gap dan egoisme. Muncul rasa acuh tak acuh antar sesama. Di lingkungan sekolah tak kalah memprihatinkan ketika murid dengan tidak mengindahkan rasa hormat memukul gurunya. Demikian pula oknum guru tidak memberi contoh yang terpuji, dan ringan tangan memukul muridnya. Benar-benar fakta yang sangat miris.
Penerapan pendidikan berkarakter yang mengutamakan budi pekerti dan nilai-nilai budaya menjadi hal yang sangat penting untuk diterapkan menjadi perilaku keseharian, baik di lingkungan keluarga, masyarakat maupun sekolah sebagai pusat kebudayaan dan peradaban. Bicara peradaban adalah bicara sistem, menanamkan ruh berbudaya dan mengejawantahkan ke dalam tindak tanduk para kaum terpelajar. Substansi budayanya yang lebih diutamakan dibanding formalitas budaya. Bagaimana menerapkan budi pekerti menjadi nafas budaya sehari-hari. Dari Aristoteles, beliau mengatakan : “Mendidik pikiran tanpa mendidik hati, bukan pendidikan sama sekali”
Culture tak semata sebagai Art. Misalnya pertunjukkan wayang, tari-tarian, gending Jawa, ludruk, ketoprak dll itu Art yang disebut seni budaya, namun bukan Culture. Secara luas Culture atau budaya adalah hidup sehari-hari, keseharian kita berinteraksi dengan alam dan orang lain. Menurut Gus Dur kebudayaan adalah seni atau cara yang mengatur hidup dan menghasilkan pilar-pilar untuk menjaga tatanan sosial. Kebudayaan adalah penemuan suatu masyarakat dalam arti buah atau hasil yang hidup dari interaksi sosial antara manusia dan manusia, antara kelompok dan kelompok. Kebudayaan bukan suatu harta untuk diwariskan yang mengacu kepada benda mati. Kebudayaan hanya akan menjadi kebudayaan kalau ia hidup dan mengacu kepada kehidupan.
Jadi budaya adalah sikap keseharian kita, seni kita berinteraksi dengan orang lain. Bukan kesenian budaya yang dipertunjukkan di panggung-panggung seni budaya.
Ada fenomena yang menakutkan terjadi di Yogyakarta sebagai kota pusat kebudayaan Jawa. Budaya Jawa yang kita kenal adalah budaya yang menjunjung tinggi unggah-ungguh. Namun mirisnya akhir-akhir ini di sana ada (saya takut menyebut banyak) kejadian klithih. Fyi, jika kita searching kata klithih di google maka yang muncul adalah kota Jogja setelah kata klitih itu (klithih Jogja, klithih di Jogja). Pengertian klithih sendiri jujur saya takut menjelaskannya. Karena menurut saya itu perbuatan yang sangat jauh-jauh dari nilai budaya apalagi ajaran agama. Meski pun akhir-akhir ini juga marak kekerasan yang bernuansa agama. Sama-sama perbuatan yang susah dinalar dengan akal sehat. Realitas sosial yang memprihatinkan. Jogja sebagai representasi budaya Jawa yang menjunjung tinggi tata krama, dan Indonesia sebagai negara yang populasi Islam-nya terbesar di dunia. Namun ada kejadian yang kontradiktif di dalam masyarakat-nya. Apa yang salah?
Selama ini kita sibuk dengan simbol, ornamen, formalitas, penyebutan A dan B menggunakan bahasa agama, memakai pakaian agama. Akan tetapi di sisi lain kita kehilangan substansi ajaran agama itu sendiri. [akan saya bahas di esai berikutnya]
Hal sederhana yang paling dasar dari tata krama dalam kehidupan real adalah ketika saya mendapati teman mahasiswa yang berbincang dengan dosen dengan menggunakan diksi “aku” bukan “saya”. Tampaknya sepele memang tapi itu penting, itu termasuk hal yang paling basic. Bagaimana kita menghormati guru atau dosen dengan penggunaan bahasa yang sesuai. Lalu contoh sederhana lain ialah ketika santri Jawa tidak bisa berbahasa Krama Inggil dengan baik kepada Kiai-nya. Bahasa Krama adalah salah satu tingkatan bahasa dalam bahasa Jawa. Dipakai untuk berbicara dengan orang yang dihormati atau orang yang lebih tua. Bahasa mempengaruhi tindak tanduk kita.
Dan yang banyak kita temui cara anak-anak milenial mencium tangan orang tua, guru, dan orang-orang yang lebih tua lainnya. Tahukah? Mereka tak lagi mencium tangan dengan hidung, namun meletakkannya di dahi mereka, kepala mereka, atau pipi mereka. Pergeseran-pergeseran budaya yang nyata terlihat di sekolah dasar negeri ini.
Akhirnya semua kembali ke diri kita masing-masing, karena semua dimulai dari diri sendiri. Seperti kutipan seorang penyair sufi Jalaludin Rumi, beliau mengatakan : “Kemarin aku menjadi pintar, aku ingin mengubah dunia. Hari ini aku menjadi bijak, aku ingin mengubah diriku sendiri”. Mungkin pilihan terakhir kita melihat buasnya zaman yang semakin liar ini adalah menjadi bijak dengan mendidik diri kita sendiri menjadi pribadi yang berkarakter untuk bisa mengubah dunia menjadi tempat yang lebih baik.
Menjadi agent of change dimulai dari diri sendiri. Ibdaʼ bi nafsik!
Komentar
Posting Komentar