Asal-usul desa bunder, susukan, cirebon

Asal-usul desa bunder, susukan, cirebon



Pada sakitar tahun 1500 M, waktu itu gunung ciremai masih disebut Gunung Gede dan keadaan tanah Cirebon masih berupa hutan belantara. Gunung Gede ini dijadikan tempat siding para wali dalam mengatur siasat menyebarkan agama islam.    
Tempat sidang itu oleh orang Cirebon di sebut tempat mecareman, yaitu dari asal kata Carem (musyawarah). Dari kata care mini kemudian cireme, sehingga nama gunung gede menjadi Gunung Cireme.
            Sunan Gunung Jati sebagai sultan Cirebon bertempat di gunung amparan jati atau sunung sembung sekarang. Setiap beliau bepergian selalu mengajak abdinya yang bernama Ki Konda. Ketika Sunan Gunung Jati dan Ki Konda pulang dari  Gunung Cireme sehabis menghadiri siding para wali Sembilan, beliau kemalaman di perjalanan, sehingga harus bermalam di suatu tempat bersama Ki Konda. Ketika Sunan Gunung Jati dan Ki Konda mengerjakan sholat malam, sayup-sayup terdengar suara tangisan bayi. Segera selesai sholat beliau mengajak Ki Konda untuk mencari bayi yang menangis itu. Ki konda menduga bahwa bayi itu mungkin dari bangsa makluk halus, namun Sunan Gunung Jati khawatir barangkali bayi itu berasal dari keluarga yang tergolong dari keluarga miskin.
            Karena suara tangis bayi terdengar pada waktu beliau sholat hanya sayup-sayup, sehingga dalam pencarian tidak segera ditemukan. Setelah lama mencari ternyata suara tangisan bayi tadi berada dalam batu tempat sholat Sunan Gunung jati. Maka batu besar itu dibelah dengan pusaka cis. Batu terbelah menjadi dua sama besar dan di dalamnya terdapat seorang bayi laki-laki yang bagus parasnya, bayi tersebut di beri nama oleh Sunan Gunung Jati dengan nama Selapada. Sela artinya batu, pada artinya sama (bahasa jawa). Adapun tempat batu tadi disebut blok Batulawang, sedangkan padukuhanya dinamakan padukuhan Watubelah (watu = batu, belah = terbelah).
            Bayi tadi oleh Sunan Gunung Jati di berikan kepada Ki Konda agar diasuh sebagaimana layaknya. Kebetulan sekali Ki Konda tidak mempunyai anak sehingga ia menerimanya dengan senang hati. Semenjak Selapada di asuh oleh Ki Konda, ia didik dengan ajaran agama islam, karena Ki Konda mengharapkan putranya itu menjadi orang yang mau memperjuangkan agama islam, berbudi luhur, dapat dipercaya. Di samping otaknya yang cerdas juga memiliki wajah yang tampan, sehingga Ki Konda tak henti-hentinya memuji syukur kepada Allah Yang Maha Kuasa. Selapada sangat taat terhadap orang tua, segala perintah dan larangannya dilaksanakan dengan baik.
            Pad suatu hari Ki Konda mendapat kabar bahwa kanjeng gusti Sunan Gunung Jati akan dating berkunjung ke padukuhan Ki Konda sekaligus menengok keadaan Selepada untuk itu Ki Konda sekaligus menengok keadaan Selapada, untuk itu Ki Konda mengadakan persiapan-persiapan khusus seperti melaksanakan kebersihan umum.
            Kepada selapada, Ki Konda memberi tugas agar kebun-kebun dan tanaman di bersihkan sehingga tampak indah. Mendengar perintah ayahnya, Selapada bersegerah melaksanakannya. Semua pepohonan dan bunga-bunga dibabat bersih tiada yang ketinggalan. Setelah Ki Konda salah pengertian, yaitu yang sebenanya hanya rumput-rumput yang di bersihkan tetapi nyatanya semuanya dibersihkan termasuk pepohonan dan bunga-bunga, Ki Konda pun ikut bersalah karena dalam memberikan tugas kurang jelas, yaitu dengan kata-kata agar kebun-kebun dan pertamanan dapat dibersihkan. Walau demikian Ki Konda tidak marah, namun wajah Ki Konda cukup memerah menandakan kekecewaan. Melihat roman ayahnya berbeda dengan biasanya, selapada mengerti bahwa sebetulnya ayahnya itu sedang menyimpan marah karena kecewa.
            Ketika ayahnya datang mendekat, Selapada terus mengambil pepohonan dan bunga-bunga yang sudah dibabat tadi dan di tancap-tancapkan lagi pada tempatnya semula, kemudian ia melarikan diri karena takut. Mengetahi anaknya melarikan diri Ki Konda berusaha mengejarnyadengan tujuan untuk menyampaikan bahwa ayahnya tidak marah karena memang ia sendiri yang salah tidak jelas dalam member perintah, namun Selapada terus berlari meninggalkan ayahnya. Karena Selapada lari sangat cepat, Ki Konda tidak dapat mengejarnya, dan kembalilah Ki Konda pulang. Sesampainya dirumah bukan main kagetnya Ki Konda melihat tanaman yang baru saja di tancap-tancapkan itu telah tumbuh kembali (terus bersemi).
            Karena penasaran, keosakan harinya Ki Konda berangkat lagi untuk mencari anaknya. Pada waktu Ki Konda sedang berjalan beliau melihat seorang anak mlekanting dari dalam tanah (mlekating = meloncat). Selanjutnya tempat tersebut plekatingan, di tempat ini Ki Konda tiduran (Sarean/sare = bahasa jawa), sehingga tempat itu di kenal dengan sebutan buyut sare.
            Rasa penasaran Ki Konda sebelum menemukan kembali anaknya selalu menyelimuti hatinya. Keesokan hari lagi-lagi berangkat untuk mencari anaknya yang disayanginya. Tetapi sebagaimana hari-hari yang lalu pada hari itu juga Ki Konda tetap tidak bertemu dengan Selapada.
            Perjalanan Selapada yng sudah tiga hari meninggalkan ayahnya dengan tanpa tujuan itu hanya menurutkan langkah kakinya. Siang malam terus berjalan tidak mengenal lelah serta tidak makan dan minum. Hatinya sedih karena  telah membuat kecewa orang tuanya yang selama ini telah mengasuh dan membimbingnya dengan kasih sayang. Selama berjalan selalu ingat kepada nasihat orang tuanya, sehingga ia berjanji  dalam hatinya bahwa dia akan berbuat kebaikan serta mengerjakan ajaran-ajaran agama islam. Akhirnya Selapada sampai di suatu perkampungan, ia beristirahat untuk melepaskan letih dan lelahnya. Di kampung itu Selapada berkenalan dengan seorang wanita bernama Nyi Juanti. Hatinya merasa senang karena dapat berkenalan dengannya, bahkan ketika ia menyampaikan perasaan tresna (senang), maka kampong itu oleh Selapada diberi nama kampong luwihseng. Lalu selapada mohon diri kepada Nyi juanti untuk melanjutkan perjalanan, dan ia berjanji akan kembali ke kampong itu untuk memperistri Nyi Juanti.
            Dalam perjalanan pengembarannya, Selapada mebawa misi menyebarkan ajaran agama islam ke berbagai desa yang dilalui seperti Desa Heuleut,Watubelah,Luwihseneng,hingga sampai ke daerah sebelah barat yaitu sekitar tepi kali Cikeruh, terus ke utara bagian daerah indramayu yaitu Desa Junti,Balongan, terus berputar ke selatan sampai ke Penawarjati (sekarang tempat itu diberi nama Jatipura).
            Di penawarjati ini Selapada mengembangkan siar agama islam yang mendapat sambutan sangat menggembirakan dari penduduk setempat. Teringat akan Nyi Juanti maka Selapada berangkat ke kampong Luwihseneng. Nyi Juanti di persunting dan diboyong ke Penawarjati. Selapada terus membuat padukuhan di sebelah selatan Penawarjati. Di tempat itu Selapada memiliki banyak santri.
            Untuk mengenang masa pengembaraanya, dari padepokan arah timur Selapada pergi menuju ke selatan, lalu memutar ke barat terus ke utara sehingga sampai ke tempat asal. Oleh karena itu pengembaraanya boleh dikatakan seperti CAKRA MANGGILINGAN BERPUTAR MELINGKAR (wis tepung gelang). Maka dari istilah ini padukuhan itu disebut BUNDER, yaitu karena penggambarannya Tepung Gelang, sedangkan bentuk gelang itu bunder. 


Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sejarah Desa Kedongdong

Sejarah Desa Jatianom